Senin, 10 Januari 2011

CANDRA AND TEKNOLOGI: Upacara Adat Pasca Panen Suku Dayak Wehea Di Kalimantan Timur

CANDRA AND TEKNOLOGI: Upacara Adat Pasca Panen Suku Dayak Wehea Di Kalimantan Timur

CANDRA AND TEKNOLOGI: KATAKAN CINTA

CANDRA AND TEKNOLOGI: KATAKAN CINTA

KATAKAN CINTA

KATAKAN CINTA
Saat malam tiba, rasa rindu merasuk di hati
Saat ku kenang senyum tawa mu menggores kata di dada….
Saat ku tatap senyum mu, alis mu bagai semut hitam yang berbaris,
Dan bola mata indah mu aku tak kuasa seakan kau menenggelamkan aku
Kedalam sumur tanpa dasar……..
Aku tak bias bohongi perasaan aku , bahwa aku menyukai dan mencintai mu
Aku tak mau menunggu lama…
Aku haya ingin tahu apakah yang ku rasakan selama ini sama dengan apa
Yang kamu rasakan…
Aku hanya ingin satu jawaban dari kamu …
Apa kah kamu mencintai aku…

Sabtu, 01 Januari 2011

Upacara Adat Pasca Panen Suku Dayak Wehea Di Kalimantan Timur

Memperkenalkan kepada anda upacara adat pasca panen yang dilaksanakan suku Dayak Wehea di provinsi Kalimantan Timur. Untuk mengetahui lebih dekat pelaksanaan tradisi itu. Dayak Wehea merupakan kelompok masyarakat suku Dayak yang tinggal di desa Nehas Liah Bing, kecamatan Muara
Wahau, kabupaten Kutai Timur, provinsi Kalimantan Timur. Dalam kehidupan Dayak Wehea, melaksanakan tradisi berdasarkan ajaran para leluhur menjadi bagian terpenting. Begitu kuatnya kepercayaan terhadap ajaran leluhur, turun temurun mereka melaksanakan ritual adat yang terkait pada alur kehidupan, seperti kelahiran, pernikahan, serta kematian.

Tak pernah terlewatkan, setiap tahun, Dayak Wehea juga menyelenggarakan upacara adat ketika musim panen padi tiba. Ketika musim panen raya padi telah tiba, suku Dayak Wehea di desa Nehas Liang Bing menyelenggarakan tradisi Lom Plai. Hari tradisi Lom Plai ditentukan berdasarkan perhitungan bintang secara adat Wehea dan hari yang dianggap baik oleh para tetua adat di desa Nehas Liang Bing.
Tradisi ini dilaksanakan sebagai ungkapan syukur atas hasil panen yang diterima Dayak Wehea selama setahun. Melalui upacara adat ini, suku Dayak Wehea berharap seluruh warga desa mendapat keselamatan panjang umur dari Sang Pencipta. Melalui ritual ini pula, mereka berharap agar pada musim tanam berikutnya, padi dan tanaman mereka terhindar dari hama penyakit, serta hasil yang melimpah.
       
Satu hari menjelang pelaksanaan Lom Plai, seluruh warga Dayak Wehea mempersiapkan segala macam kebutuhan tradisi. Kaum wanita Wehea mempersiapkan hidangan tradisi untuk acara makan bersama, seperti membuat lemang atau nasi yang dimasak di dalam sebilah bambu, memasak ikan serta daging bakar. Sementara lelaki Wehea membuat pakaian dan topeng dari daun pisang dan dedaunan yang tumbuh di desa Nehas Liang Bing. Ketika hari tradisi tiba, topeng dan baju itu dikenakan oleh para lelaki Dayak Wehea untuk menari Hudoq.
       
Ketika sebuah gong yang dipukul oleh keturunan Raja di Dayak Wehea berbunyi, rangkaian acara tradisi Lom Plai mulai dilaksanakan. Rangkaian acara diawali dengan tradisi Embos Min yang dilaksanakan oleh para wanita Dayak Wehea dan dipimpin oleh sesepuh desa. Dalam acara ini, mereka berjalan sambil membawa bulu ayam yang telah dirangkai sedemikian rupa. Mereka berjalan keliling kampung sambil mengibaskan bulu ayam yang dibawa itu. Pelaksanaan tradisi ini diyakini dapat membuang segala kesialan dan kejahatan yang ada di kampung Dayak Wehea.
       
 Ketika para wanita Dayak Wehea melaksanakan ritual Embos Min di desa Nehas Liang Bing, para lelaki Wehea menyelenggarakan tradisi perang-perangan atau Seksiang di hulu sungai Liang Bing. Berdasarkan aturan adat yang berlaku di desa itu, tidak semua orang dapat menjadi peserta tradisi. Pesertanya haruslah lelaki dan kuat secara fisik.
Di atas perahu kayu yang ikut hanyut mengikuti arus sungai, mereka saling menyerang layaknya sebuah pertempuran. Sebagai senjata, mereka menggunakan ranting pohon yang dibuat menyerupai tombak. Selama tradisi ini berlangsung, setiap peserta harus mematuhi peraturan permainan, seperti tidak boleh menyerang lawan yang berada di dekat ataupun dibelakangnya. Permainan ini berlangsung hingga tetua adat memberikan tanda bahwa pelaksanaan ritual Embos Min telah berakhir.
       
Keesokan harinya, rangkaian acara dilanjutkan dengan ritual siraman. Dalam ritual ini, setiap warga saling menyiram warga lainnya dengan air yang diyakini sebagai air suci. Bagi Dayak Wehea, tradisi ini menjadi sebuah harapan agar persediaan air di masa tanam berikutnya jauh lebih baik daripada tahun ini. Pada malam harinya, suku Dayak Wehea memainkan tari Hudoq yang bernuansa magis.
Tarian ini merupakan tarian tradisional Dayak Wehea yang diyakini dapat menyembuhkan penyakit. Oleh suku Dayak Wehea, tarian ini juga menjadi media untuk mengundang roh para leluhur. Roh leluhur itu diyakini dapat menjaga padi yang akan ditanam berikutnya dari serangan hama penyakit. Dalam tradisi Lom Plai, Hudoq menjadi bagian yang terpenting.
Begitu pentingnya Hudoq dalam tradisi ini, tidak semua warga dapat menjadi penari Hudoq. Penari Hudoq merupakan orang terpilih yang diyakini memiliki kekuatan supranatural dan mampu memanggil roh para leluhur Wehea. Selain Hudoq, mereka juga memainkan pertunjukan beragam tari tradisional lain sebagai hiburan.
       
Seperti pelaksanaan di tahun sebelumnya, Dayak Wehea menutup ritual Lom Plai dengan acara Embos Epang Plai.  Biasanya, tradisi ini dilaksanakan pada sore hari. Ketika hari terakhir dari pelaksanaan tradisi telah tiba, semua warga desa berkumpul di sebuah lapangan terbuka yang telah ditentukan. Di lapangan inilah, mereka menyelenggarakan acara doa bersama yang dipimpin oleh tetua adat Wehea.
Dalam bahasa Dayak Wehea, mereka memohon kepada Sang Pencipta agar desa terhindar dari segala macam bencana. Doa ini melantun tanpa henti sejak sore hari hingga menjelang matahari terbit. Sesaat sebelum matahari terbenam, tetua adat melanjutkan ritual dengan menyembelih seekor ayam sebagai kurban. Setelah disembelih dan bagian dalam dari ayam itu dibersihkan, ayam yang dijadikan kurban itu ditancapkan di sebuah bambu.
Bambu itu kemudian ditancapkan di sebatang pohon pisang yang telah disiapkan sebelumnya. Di samping pohon pisang itu, tampak sebuah piring berisi sesaji berupa beberapa butir padi dan dua buah telor ayam. Ketika darah dari ayam kurban itu menetes ke tanah, tetua adat menabur butir padi sambil berjalan mengelilingi batang pisang. Bagi Dayak Wehea, tradisi ini menjadi simbol persembahan suku Wehea kepada roh para leluhur. Seluruh rangkaian Lom Plai diakhiri dengan berdoa bersama. Setelah ritual ini usai, warga kembali pulang ke rumahnya masing-masing dan mempersiapkan kebutuhan untuk melaksanakan masa tanam padi keesokan harinya.
       
Tertarik untuk melihat dari dekat pelaksanaan tardisi Lom Plai? anda dapat berkunjung ke kampung Dayak Wehea di desa Nehas Liang Bing. Untuk menuju desa ini, anda dapat berangkat dari kota Samarinda menuju daerah Sangatta, lebih kurang 4 jam menggunakan kendaraan bermotor. Sesampainya di daerah Sangatta, anda dapat melanjutkan perjalanan menuju desa Nehas Liang Bing, lebih kurang 5 jam melintasi jalur darat.
Oke....
samapai ketemu di Selabing......
hehehehehehehehehehehe......